Ketua Umum PJI Hartanto Boechori: Penolakan Salinan Putusan oleh PA Surabaya Langgar Akal Sehat Hukum

[Foto : Loket Informasi Dan Pengaduan Pengadilan Agama Surabaya]
Surabaya | Jurnaljawapes.com — Sebuah insiden administratif yang dianggap menyimpang dari asas hukum dan keterbukaan terjadi di Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jumat (1/8/2025). Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Hartanto Boechori, menyuarakan kritik keras terhadap tindakan petugas PA Surabaya yang menolak memberikan salinan berkas perkara kepada pemohon yang memegang Surat Kuasa Khusus yang sah.

Hartanto, yang dalam hal ini bertindak atas nama anggota PJI yang sedang digugat cerai, membawa Surat Kuasa Khusus dari pihak tergugat untuk mengambil salinan berkas perkara. Namun petugas loket PA Surabaya justru menolaknya dengan alasan pemohon bukan seorang advokat.

Menurut Hartanto, penolakan tersebut tidak berdasar hukum. Surat kuasa yang dibawanya berisi kuasa terbatas untuk mengambil segala jenis berkas perkara perceraian atas nama tergugat. Namun petugas menolak dengan dalih bahwa yang bersangkutan bukan pengacara dari para pihak.

“Saya diminta membuat surat pengajuan untuk ‘dipertimbangkan’, bahkan diarahkan untuk melalui mekanisme KIP (Keterbukaan Informasi Publik). Padahal saya membawa kuasa langsung dari pihak tergugat. Ini bentuk pembelokan administrasi,” ujar Hartanto.

Setelah melalui sejumlah perdebatan dan tekanan agar diberi kepastian hukum, Hartanto akhirnya menerima salinan putusan tersebut. Namun proses yang berbelit dan bernuansa penolakan ini menjadi sorotan tajam dari tokoh pers tersebut.

Hartanto menyebut penolakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia merujuk Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang menyatakan bahwa pihak dalam perkara boleh diwakili siapa saja dengan Surat Kuasa Khusus, dan tidak disyaratkan harus advokat.

Ia juga mengutip SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 2 Tahun 1959, yang menyebut bahwa salinan putusan boleh diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau kuasa hukumnya yang sah.

“Ini dasar hukum yang masih berlaku hingga sekarang. Tidak ada aturan yang membatalkan pasal tersebut. Maka penolakan oleh petugas pengadilan bertentangan dengan hukum,” tegas Hartanto.

Hartanto menduga sikap petugas hanyalah cermin dari kebijakan internal yang keliru dan perlu segera dibenahi. Ia menilai sistem komando dan SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam pelayanan peradilan harus dievaluasi.

“Pengadilan adalah lembaga publik. Penafsiran hukum tidak boleh dilakukan semena-mena oleh petugas administrasi. Ketika ruang pelayanan hukum dipersempit secara sepihak, yang terjadi adalah ketidakadilan terselubung,” paparnya.

Ia menegaskan bahwa keadilan adalah hak setiap warga negara, bukan milik eksklusif segelintir profesi atau kelompok tertentu.

Tulisan dan pernyataan Hartanto Boechori bukan semata kritik, melainkan ajakan untuk introspeksi dan pembenahan. Ia mengaku percaya masih banyak aparatur pengadilan yang cerdas dan terbuka terhadap koreksi, namun benang kusut dalam pelayanan hukum harus diluruskan hingga ke lapisan terbawah.

“Reformasi hukum tidak boleh berhenti di atas kertas. Bila hukum dijalankan tanpa jiwa, maka hanya akan menjadi pagar birokrasi yang menjauhkan rakyat dari keadilan sejati,” tutupnya.

(Redaksi)

Baca Juga

View

Posting Komentar

0 Komentar

Pujo Asmoro

Pimprus Media Jurnal Jawapes. WA: 082234252450

Countact Pengaduan