Sangheyang Hamim, Panditho Topongerame Joko Tegolono Lakon Wayang Kulit yang Menggema dari Gunung Arjuna ke Panggung Dunia

[Foto : Sangheyang Hamim Duta Pariwisata Internasional]
Pasuruan | Jurnaljawapes.com  - Wayang kulit kembali membuktikan dirinya bukan sekadar seni pertunjukan tradisional, melainkan medium refleksi peradaban yang mampu menjembatani nilai-nilai leluhur dengan realitas dunia modern. Melalui lakon Sangheyang Hamim, wayang tampil dengan narasi yang kuat, memadukan mitologi Jawa, spiritualitas, pariwisata, serta isu global yang relevan lintas generasi, termasuk Generasi Z.

Dalam lakon tersebut, Sangheyang Hamim digambarkan sebagai tokoh spiritual yang memiliki kekuatan supernatural, bukan semata keajaiban supranatural, melainkan daya adikodrati yang bersumber dari kehendak Ilahi, laku batin, dan keselarasan antara jagat alit (mikrokosmos) dan jagat ageng (makrokosmos). Kekuatan ini tidak dimaknai sebagai alat pamer kuasa, tetapi sebagai sarana menjalankan titah dan amanah peradaban.

Kisah Sangheyang Hamim bermula dari peristiwa spiritual pada 13 November 1996, ketika ia dikisahkan menerima titah leluhur usai bertemu Mbah Paimin. Sejak saat itu, Sangheyang Hamim memproklamirkan misi besar mengangkat Gunung Arjuna sebagai Induk Peradaban Dunia, sebuah gagasan yang terus diperjuangkan dan digaungkan selama puluhan tahun.

Perjalanan panjang tersebut mencapai titik penting ketika HE Mr. Djuyoto Suntani, Presiden Dunia The World Peace Committee yang menaungi 202 negara, merespons gagasan tersebut dan menandatangani penetapan kawasan Gunung Arjuna sebagai Induk Peradaban Dunia pada 5 Agustus 2019. Dalam alur pewayangan, peristiwa ini dimaknai sebagai pengakuan global yang digerakkan oleh kesadaran kosmis, bukan semata keputusan politik atau administratif.

Namun, kisah tidak berhenti pada penetapan tersebut. Dalang dalam pementasan mengisahkan bahwa Sangheyang Hamim masih mengemban satu tugas besar lainnya, yakni membangun mega proyek istana kerajaan pariwisata di kawasan Gunung Arjuna Induk Peradaban Dunia, dengan nilai yang dikisahkan mencapai Rp 313 triliun. Alur ini secara simbolik disejajarkan dengan lakon klasik Semar Bangun Kahyangan, di mana kekuatan ilahiah turun ke bumi untuk menata kembali harmoni dunia.

Dengan kekuatan supernaturalnya, Sangheyang Hamim digambarkan mampu mempengaruhi kesadaran kolektif berbagai elemen planet bumi mulai dari konglomerasi, pejabat publik, hingga elit global bukan melalui paksaan, melainkan melalui daya batin, kehendak semesta, dan restu leluhur agar berpihak pada cita-cita besar pembangunan peradaban, perdamaian, dan pariwisata berbasis budaya.

Dalam pementasan tersebut, Sangheyang Hamim memperoleh julukan sakral “Panditho Topongerame Joko Tegolono”, yang diberikan langsung oleh dalang sepuh Mbah M. Gelar ini sarat makna filosofis. Panditho melambangkan sosok suci yang telah menanggalkan kepentingan pribadi, Topongerame dimaknai sebagai kemampuan meneduhkan dan menyatukan kegaduhan zaman, sementara Joko Tegolono merepresentasikan figur manusia bumi yang teguh, jujur, dan kokoh menapaki garis takdirnya.

Menurut penuturan dalang sepuh, gelar tersebut tidak diberikan secara sembarangan, melainkan lahir dari rangkaian perjalanan spiritual Sangheyang Hamim dalam lakon. Dalam tradisi pewayangan Jawa, penyematan nama dan gelar merupakan simbol amanah, tugas, serta tanggung jawab spiritual yang melekat pada tokoh, sekaligus penegasan perannya sebagai penuntun zaman dan penjaga keseimbangan peradaban.

Kini, dalam narasi lakon, Sangheyang Hamim tidak hanya diposisikan sebagai tokoh mitologis, tetapi juga digambarkan sebagai Duta Wisata Internasional Muteri Kawasan Gunung Arjuna Induk Peradaban Dunia. Istilah Muteri dimaknai sebagai penjaga kemurnian, keindahan, dan martabat kawasan peradaban, bukan simbol kemewahan, melainkan lambang tanggung jawab spiritual terhadap alam dan umat manusia. Ia digambarkan menempati singgasana istana kerajaan pariwisata sebagai pusat simbolik pertemuan budaya, spiritualitas, dan peradaban dunia.

Fenomena lakon Sangheyang Hamim ini dinilai sebagai manifestasi modern dari kisah-kisah para dewa yang sejak lama hidup dalam tradisi wayang kulit. Dengan kemasan narasi yang kontekstual dan reflektif, wayang kembali menjalankan fungsi utamanya sebagai tontonan sekaligus tuntunan, tidak hanya di panggung tradisional, tetapi juga di ruang digital dan media sosial.

Lebih lanjut dalang yang enggan disebutkan namanya itu bahkan menyebutkan bahwa pementasan lakon Sangheyang Hamim ini direncanakan akan diliput oleh sedikitnya 12 media massa, serta melibatkan YouTuber, konten kreator, dan influencer tanah air. Hal ini menandai babak baru wayang kulit sebagai medium budaya yang terus hidup, bertransformasi, dan relevan di tengah dinamika dunia modern.

(Red)


Baca Juga

View

Posting Komentar

0 Komentar

Pujo Asmoro

Pimprus Media Jurnal Jawapes. WA: 082234252450

Countact Pengaduan