Potret Lokalisasi Prostitusi di Jawa Timur Antara Penutupan, Transformasi, dan Realita Terselubung

[Foto : Legenda Prostitusi Di Jawa Timur]
Jawa Timur | Jurnaljawapes.com - Jawa Timur sejak lama dikenal sebagai salah satu wilayah dengan sejarah panjang praktik prostitusi, baik yang terorganisir dalam lokalisasi resmi maupun tersembunyi dalam praktik terselubung. Dari Surabaya hingga Ponorogo, dari Mojokerto hingga Malang, wajah lokalisasi kini berubah: ada yang ditutup, ada yang bertransformasi, namun ada pula yang tetap berjalan dalam senyap.

Langkah besar dimulai dengan penutupan Lokalisasi Gang Dolly di Surabaya pada tahun 2014. Gang yang dahulu dikenal sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu resmi dihentikan operasionalnya oleh Pemerintah Kota Surabaya. Upaya ini disusul dengan penutupan beberapa lokalisasi lainnya, seperti Kedung Banteng di Ponorogo, Balong Cangkring di Mojokerto, serta Girun di Malang.

Meski tidak tanpa resistensi, kebijakan penutupan ini membawa harapan baru. Pemerintah daerah berupaya mengubah stigma kawasan tersebut dengan pendekatan pemberdayaan dan pariwisata.

Setelah penutupan, kawasan eks-lokalisasi mulai diarahkan menjadi sentra ekonomi kreatif dan destinasi wisata. Contohnya, Kampung Dolly kini diubah menjadi Kampung Wisata Dolly, tempat UMKM lokal dan komunitas seni mulai tumbuh. Di Ponorogo, rencana pengembangan kawasan eks-Kedung Banteng menjadi agrowisata tengah dimatangkan, meski masih menemui berbagai tantangan infrastruktur dan sosial.

Namun, transformasi ini tidak selalu berjalan mulus. Bekas luka sosial dan ekonomi dari lokalisasi masih terasa di masyarakat sekitar, terutama bagi para eks-PSK yang berjuang mencari identitas dan penghidupan baru.

Meskipun secara resmi ditutup, tak bisa dipungkiri bahwa praktik prostitusi belum sepenuhnya berhenti. Kawasan Kembang Kuning di Surabaya, misalnya, masih disorot karena aktivitas prostitusi terselubung yang berjalan di balik kedok usaha jasa lain.

Hal serupa juga terjadi di sejumlah titik lain di Jawa Timur, termasuk di beberapa kawasan ‘gurem’ atau lokalisasi skala kecil yang tidak terlalu terekspos media maupun pengawasan aparat. Praktik ini kerap berpindah tempat, beradaptasi dengan teknologi dan menyasar ruang-ruang digital.

Sejarah panjang lokalisasi di Jawa Timur menorehkan catatan sosial yang kompleks. Gang Dolly diyakini telah eksis sejak era kolonial Belanda dan menjadi simbol industri seks yang terorganisir. Di sisi lain, kawasan Tretes di Pasuruan juga menyimpan jejak praktik prostitusi yang marak sejak era Orde Baru, dengan label “lokasi wisata” yang kerap menjadi kedok.

Penghapusan lokalisasi pun menjadi pekerjaan rumah yang tak hanya bersifat administratif, tetapi juga menyangkut persoalan sosial, ekonomi, hingga hak asasi manusia.

Pemerintah dan masyarakat kini menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan bahwa transformasi kawasan eks-lokalisasi tidak hanya menjadi perubahan fisik, tetapi juga perubahan nasib dan masa depan para individu yang selama ini menggantungkan hidup di dalamnya?

Pendekatan inklusif dan berkelanjutan menjadi kunci. Diperlukan sinergi antara program pelatihan, dukungan psikososial, serta keterlibatan sektor swasta untuk membuka lapangan kerja baru yang bermartabat.

Karena pada akhirnya, yang sedang dibenahi bukan hanya ruang kota tetapi juga kehidupan manusia.

(Hamim/Redaksi)

Baca Juga

View

Posting Komentar

0 Komentar

Pujo Asmoro

Pimprus Media Jurnal Jawapes. WA: 082234252450

Countact Pengaduan